Nostalgia Review The Godfather: Mahakarya Mafioso
The Godfather adalah salah satu mahakarya dunia film yang tak pernah lekang dimakan waktu. Simak ulasan dan sejumlah fakta menariknya!
The Godfather mungkin tengah terlupakan di tengah gegap gempita dunia perfilman yang saat ini didominasi genre horror dan superhero. Namun fans setia film ini tentu tak bisa melupakan akting Marlon Brando dan para aktor kawakan lainnya seperti Al Pacino yang diumumkan akan kembali membintangi film The Irishman yang akan tayang tahun 2018. Setelah mengulas Pengabdi Setan dan Blade Runner versi lawas, kali ini Duniaku berkesempatan mengulas salah satu film mafia yang dirilis pada tahun 1972 silam.
Menurut penulis, film ini layak diulas lagi karena sampai sekarang, salah satu mahakarya ini masih menduduki peringkat film terbaik setelah The Shawshank Redemption (1994) di situs kritik film IMDb. Bahkan sekuel filmnya juga masih setia menduduki peringkat ketiga. Jadi, mengapa film ini mampu menyabet dua peringkat terbaik sekaligus? Jika ingin tahu jawabannya, simak ulasannya di bawah ini.
1. Sinopsis The Godfather (1972)
The Godfather bercerita tentang kisah keluarga mafia terkuat di New York yang dipimpin oleh seorang pria keturunan Italia bernama Vito Corleone yang kerap dipanggil Don Corleone. Di bawah kekuasaannya, grup Corleone menjadi “raja” di balik bayang-bayang kota New York. Hampir semua keluarga mafia lain dan polisi langsung gentar begitu mendengar namanya. Namun dibalik reputasinya yang terkenal kejam, ternyata Don Corleone merupakan sosok yang penyayang bagi keluarganya. Dia sendiri mengatakan bahwa orang tak bisa menghabiskan waktu dengan keluarga tidak akan menjadi seseorang yang nyata.
Selain itu, Don Corleone juga dikenal sebagai pribadi yang suka menolong dan mau melakukan apa saja untuk orang lain dengan satu persyaratan sederhana: persahabatan. Sebagai seorang Sicilian, Don Corleone akan membuka rumahnya bagi siapapun yang membutuhkan pertolongan bahkan ketika sedang merayakan acara istimewa sekalipun. Kehidupannya semakin lengkap saat putri bungsunya yang bernama Connie menikah. Siapa sangka, keluarga Corleone harus kembali menghadapi badai setelah pernikahan tersebut. Mampukah Vito Corleone mempertahankan keluarga dan bisnisnya?
2. Alur The Godfather yang bervariasi namun saling melengkapi
Alur cerita The Godfather sendiri tidak hanya berfokus pada keseharian Don Corleone dalam mengatasi setiap permasalahan yang menghampiri bisnisnya. Tokoh-tokoh lain seperti Santino “Sonny” Corleone dan Michael Corleone juga mendapat sorotan tersendiri saat menghadapi permasalahan masing-masing. Meskipun sorot ceritanya terpecah menjadi beberapa bagian, namun penulis tidak pernah mengalami sindrom “bingung fokus” ketika menonton jalannya film ini. Tidak seperti Pirates of Carribean yang sempat penulis ulas sebelumnya karena alurnya yang langsung membelah seperti amoeba, The Godfather sukses menghubungkan alur cerita utama dengan sub-plot dari awal sampai akhir.
Durasi tiga jam yang normalnya membuat penonton tidur di pertengahan cerita tak mempengaruhi penulis untuk sekedar melewatkan satu atau dua adegan remeh. Karena bisa jadi hint yang disembunyikan justru berada di adegan tersebut, salah satunya adalah jeruk. Buah satu ini dijadikan sebagai pertanda buruk di film ini. Jika kalian menonton sejumlah adegan yang melibatkan jeruk, bisa dipastikan hal buruk akan segera terjadi menimpa salah satu tokoh. Semua kejadian yang terjadi secara acak satu-persatu terhubung melalui penjelasan dan tindak-tanduk para tokohnya. Berkat itulah, sebuah hal istimewa yang disebut plot twist sukses yang mengejutkan. Sedikit bocoran, salah satu tokoh yang kelihatannya tak berhubungan sama sekali justru menjadi akar dari segala kekacauan di dalam keluarga ini!
3. Penggunaan soundtrack lagu yang pas dan mafia banget!
Jika ditanya bagaimana penggunaan musik untuk soundtrack film The Godfather? Penulis bisa mengatakan bahwa orang yang berperan di balik penataan musiknya benar-benar orang yang mengerti kebudayaan mafia yang memang didominasi rasa Italia. Penggunaan musik khas tahun 40-an dan juga alunan musik klasik khas Italia sukses mendukung jalan cerita dan setiap adegan yang dilakoni para tokoh yang memang kebanyakan berdarah Italia-Amerika. Alunan musik yang catchy abis berhasil membuat tetap terjaga dan di saat yang sama terhanyut dalam cerita yang dibawakan.
4. Minim action, penuh dengan intrik-intrik yang menegangkan
Tidak seperti film-film kriminal pada zaman sekarang yang menurut penulis, lebih memfokuskan pada koreografi bela diri, The Godfather tidak memiliki hal semacam itu. Adegan gebuk-gebukan dengan gaya tarung memukau tak akan pernah kalian temui di sini. Tapi apakah hal itu mengurangi nilai dari film ini? Tidak, The Godfather menawarkan hal lain yang lebih memukau ketimbang sekedar adu jotos belaka. Film ini memberikan sebuah tensi lain yang pasti akan dirasakan penonton, entah melalui adu dialog atau saat “mengeksekusi” musuh-musuhnya.
Di sini para karakter harus diuji kepekaannya. Siapa yang menjadi teman? Siapa yang menjadi musuh? Siapa yang akan menusuk dari belakang? Konflik seperti itulah yang membuat jalan ceritanya susah ditebak namun seru untuk dinikmati. Konflik selain perseteruan antar gembong mafia juga patut disorot. Pertengkaran antar anggota keluarga, pengkhianatan oleh teman yang terpercaya dan saat negosiasi demi “meloloskan” keinginan klien Corleone menjadi adegan yang tak boleh kalian lewatkan sedikitpun. The Godfather menunjukkan begitulah para mafia bekerja, bukan sekedar adu jotos belaka.
BACA LAINNYA :
6 CARA MELATIH KESABARAN BIAR NGGAK GAMPANG BAPERAN
3 Contoh Teks Ceramah tentang Sabar, Ikhlas, dan Ujian Kehidupan
Perhatikan 7 Tips Berikut Sebelum Memilih Travel Agent
5. Akting yang luar biasa dan tak setengah-setengah dari aktor di The Godfather
Jujur, masih geleng-geleng kepala saat membaca sejumlah fakta mengenai para aktor yang membintangi film ini. Sang sutradara, Francis Ford Coppola seolah memiliki cara jenius namun kontroversial dalam meningkatkan kualitas akting para aktornya. Apa dia menyuruh para aktornya untuk berlatih kontemplasi? Tidak! Dia memilih membuat para aktornya menghadapi situasi tak terduga yang membuat para aktor mengeluarkan ekspresi yang diinginkan olehnya. Kalau tak percaya, tanya saja aktor legendaris John Marley yang pernah jadi korban “keisengan” Francis. Adegan ia berteriak saat mendapati kepala kuda tergeletak bersimbah darah di atas kasurnya itu bukan akting, sumpah! Itu benar-benar reaksi kaget karena mendapati bahwa kepala kuda tersebut bukan sekedar properti biasa. Itu benar-benar kepala kuda beneran!
Lalu ada pemeran bernama Gabrielle Torrei (Enzo) yang sempat kita kira sedang berakting gugup saat mobil mafia menjauh itu memang ternyata sedang gugup beneran karena memang baru pertama kali berakting di depan kamera. Ingat saat adegan Sonny menghajar Carlo yang notabene adik iparnya? Penulis menemukan fakta bahwa adegan itu bukan rekaan semata. Itu benar-benar murni perkelahian karena diketahui James Caan yang memerankan Sonny memang “sengaja” memukul Russo yang berlakon sebagai Carlo sampai sampai rusuk dan sikunya cedera. Mengesampingkan para aktor yang malah “kebablasan” berekspresi, akting Marlon dan para aktor pendukung lainnya perlu mendapat acungan jempol. Keputusan Marlon menggunakan kapas sebagai improvisasi benar-benar langkah yang bagus untuk menonjolkan kesan mafiosso. Caranya menangis saat beradegan di pertemuan para ketua mafia juga terlihat alami. Bagaimana Talia meratap ketika tahu suaminya mati juga patut dipuji.
6. Kesimpulan dari review The Godfather
Dari aspek yang sudah diulas, penulis menyatakan bahwa film The Godfather benar-benar layak menjadi rajanya film bertema mafia. Plot yang rapi dan jalan cerita yang tak membosankan. Kualitas akting para aktor dan aktrisnya yang tak setengah-setengah. Penggunaan properti yang juga totalitas (kepala kudanya itu loh!) dan juga musik yang sesuai dengan tema yang diusung. Andaikan The Shawshank Redemption tak pernah ada, mungkin yang menduduki peringkat pertama saat ini adalah film ini. Dua jempol tampaknya tak cukup untuk mengapresiasi mahakarya sutradara Francis dan juga Mario Puzo selaku penulis novelnya. Salute!