• Sab. Apr 27th, 2024

Pemerintah Dinilai Lakukan Politik Penundaan Soal Kasus Penculikan 1998

Jakarta: Pengamat militer dari Centra Initiative Al Araf menilai pemerintah menerapkan politic of delay atau politik penundaan soal kasus penculikan aktivis pada 1998. Ada bau amis yang terendus dari hal tersebut.

“Mencoba delay waktu demi waktu sehingga membiarkan keluarga korban meninggal dan akhirnya seolah-olah nanti tidak ada yang memperjuangkan kembali,” kata Al Araf dalam perilisan buku “Kasus Penculikan Bukan untuk Diputihkan” di Tebet, Jakarta Selatan, Kamis, 18 Januari 2024.

Al Araf mengatakan dirinya dan Taufik Pram bergerak merespons hal itu. Caranya dengan berkolaborasi menulis buku Kasus Penculikan Bukan untuk Diputihkan.

“Buku ini ditulis sebagai narasi yang menjelaskan kepada publik bahwa ini belum selesai dan belum tuntas,” papar dia.

Al Araf menyebut pemerintah sengaja mengulur-ulur penyelesaian kasus penculikan. Salah satu buktinya, yakni dengan tidak menjalankan rekomendasi DPR.

“Ada narasi jahat dalam kekuasaan sepanjang 20 tahun yang membangun politic of delay dalam penyelesaian pelanggaran HAM (hak asasi manusia) masa lalu,” ucpa dia.

Mahasiswa di Sejumlah Daerah Serukan Tolak Politik Dinasti

Aksi penolakan terhadap praktik politik dinasti dan pelanggaran HAM yang digelar mahasiswa Universitas Negeri Jakarta (UNJ) di kawasan Jalan Pemuda, Rawamangun, Jakarta Timur. Dalam aksinya mahasiswa berorasi sambil membentangkan spanduk dan membagikan selebaran berisi penolakan terhadap politik dinasti dan pelanggaran HAM pada pemilihan presiden 2024.

Selain berorasi, mahasiswa juga membagikan selebaran dan stiker berisi penolakan pada politik dinasti kepada para pengguna jalan yang melintas.

“Kita menolak adanya politik dinasti yang terjadi hari ini. Pemerintah seakan terbuka begitu jelas melakukan politik dinasti,” jelas Komandan Tim Aksi Reds Soldier Fakultas Ilmu Sosial (FIS) UNJ, Ibra Fabian, yang ditemui wartawan di sela-sela aksi.

Aksi serupa digelar di depan Kampus
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Ciputat, Tangerang Selatan, Banten. Aksi penolakan terhadap politik dinasti ini diikuti aktivis mahasiswa dari berbagai kampus di Tangerang Selatan.

Dalam aksinya mahasiswa membagikan ribuan pamflet berisi penolakan terhadap politik dinasti kepada pengendara yang melintas. Mahasiswa juga terlihat memakai topeng sebagai simbol perlawanan terhadap kekuasaan yang dianggap tiran.

Koordinator aksi mahasiswa Glamora Lionda menyatakan aksi demonstrasi ini digelar sebagai bentuk rasa bertanggung jawab agar masyarakat bisa mendapatkan pemimpin yang lebih baik.

“Kita di sini ngumpul bagi-bagi selebaran dan flyer, jujur itu adalah suatu bentuk kekhawatiran kita, satu bentuk ketakutan kita, sekaligus rasa tanggung jawab kita sebagai putra bangsa dan putra-putri Republik, juga rasa cinta kita terhadap Indonesia menyoal Pilpres,” jelasnya.

Aksi penolakan terhadap politik dinasti juga digelar di Kota Malang, Jawa Timur. Mahasiswa dari berbagai kampus yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Indonesia Bersatu Malang membagikan brosur kepada warga yang melintas di depan kampus Universitas Merdeka Malang.

Mahasiswa berharap dengan aksi penolakan dinasti politik yang mereka gelar, masyarakat bisa memilih pemimpin terbaik di Pilpres 2024 mendatang.

“Ketidakseimbangan demokrasi kita di sini saya sebagai mahasiswa tergerak untuk mengingatkan pemerintah agar tidak meneruskan hal-hal jelek. Dan kita memberi contoh kepada mahasiswa-mahasiswa lain untuk tetap terjaga bahwa politik dinasti tidak baik untuk diteruskan,” ungkap korlap aksi mahasiswa, Satrio Panji Sadewo.

Mahasiswa juga berharap Ke depan tidak ada lagi praktik politik dinasti di Indonesia.

Pemakzulan Jokowi Disebut Solusi Terbaik Setop Politik Cawe-cawe

Jakarta: Kritikus Politik Faizal Assegaf mengatakan pemakzulan terhadap Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjadi penting. Jokowi dan keluarganya dinilai menyalahgunakan wewenang hingga cawe-cawe dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.

“Petisi 100 datang ke DPR menggaungkan solusi terbaik menghentikan politik cawe-cawe adalah pemakzulan,” kata Faizal dalam diskusi virtual Crosscheck Metrotvnews.com bertajuk “Geger Isu Pemakzulan Jelang Coblosan,” Minggu, 14 Januari 2024.

Faizal mengatakan Petisi 100 juga menemui Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD beberapa hari lalu. Mereka menyuarakan hal serupa.

“Bahwa tidak ada cara lain karena semua lembaga pengawas rubuh. Mahkamah Konstitusi (MK), DPR tidak berperan, partai politik hanya mondar-mandir. Jadi perlu pemakzulan,” ujar dia.

Faizal mengungkapkan Petisi 100 dan Mahfud berdiskusi soal potensi kecurangan pemilu. Hal itu sejalan dengan ikhtiar Kemenkopolhukam yang membuat Satuan Tugas (Satgas) Antipemilu Curang.

“Ini penting agar bisa satu kesepahaman untuk menjaga persatuan nasional sehingga proses demokrasi tidak terancam kecurangan dan disintegrasi,” jelas dia.

By Admin