• Jum. Apr 26th, 2024

Pajak Hiburan di RI Naik, Lebih Mahal dari Negara Tetangga?

Kenaikan pajak hiburan sebesar 40%-70% kini menjadi perdebatan panas. Hal ini menjadi perhatian berbagai pihak karena kekhawatiran pelaku usaha akan sepinya dunia hiburan di Indonesia.

Pajak hiburan memang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 Tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah (HKPD).

Berdasarkan pasal 58 ayat 2, disebutkan bahwa pajak barang dan jasa tertentu (PBJT) untuk jasa hiburan pada diskotik, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan paling rendah 40?n paling tinggi 75%. Namun tarif itu akan ditetapkan lebih lanjut berdasarkan peraturan daerah.

Pajak hiburan merupakan jenis pajak yang dipungut oleh pemerintah kabupaten/kota, yang pajaknya dibayarkan oleh konsumen sehingga pelaku usaha hanya memungut pajak yang telah ditetapkan.

Pajak hiburan sendiri menjadi salah satu penopang penerimaan pajak di daerah. Dalam konferensi pers APBN Kita, Jumat 15 Desember 2023, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut pajak daerah tumbuh didorong oleh peningkatan realisasi pajak dari sektor ekonomi yang bersifat konsumtif. Seperti pajak hotel, hiburan, restoran, dan parkir.

Adapun realisasi penerimaan pajak daerah hingga November 2023 sebesar Rp22 triliun atau tumbuh 3,8% secara tahunan.

Namun pajak hiburan di Indonesia dengan sejumlah negara lain terlampau jauh perbedaanya. Misalnya di Singapura 15%, Malaysia 10?ri sebelumnya 25%, Amerika Serikat 9?n Thailand yang juga turun menjadi 5%.

Kenaikan ini pun menuai protes dari sejumlah asosiasi pengusaha. Salah satunya dari Wakil Ketua Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bali, I Gusti Ngurah Rai Suryawijaya yang menilai kenaikan ini sangat drastis.

“Masak dari 15% menjadi 40%, ini kalau kenaikan iya pelan-pelan ojo kesusu. Jadi jangan kagetin usaha dan itu akan mematikan usaha, itu ekstremnya,” jelasnya.

Hal ini sejalan dengan pernyataan Ketua Umum Asphija, Hana Suryani. Ia menilai aturan pajak hiburan terbaru ini tidak mengakomodasi kepentingan pengusaha. Terlebih lagi industri hiburan di Indonesia baru pulih dari pandemi covid-19 sehingga sulit untuk menyesuaikan diri dengan aturan ini.

Pengusaha Spa di Bali Tolak Pajak Hiburan 40%

Pemerintah diminta untuk menunda penerapan Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) atas jasa hiburan, termasuk spa di kisaran 40 hingga 75 persen. Rencana penerapan PBJT atas usaha spa tentunya mengundang reaksi keras dari pelaku usaha di Bali yang banyak menerapkan spa dengan perpaduan budaya dan ragam ilmu kesehatan Bali.

Salah satu pelaku usaha spa di Bali menyebutkan bahwa dengan adanya penerapan Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) atas jasa hiburan termasuk spa akan berpotensi mengurangi jumlah pengunjung yang datang. Sebab, harga yang harus dikenakan kepada pelanggan semakin mahal.

Kepala Dinas Pariwisata (Dispar) Bali Tjok Bagus Pemayun mengatakan masih sedang mengkomunikasikan dengan pemerintah pusat terkait usaha spa di Bali agar tidak masuk dalam kategori hiburan. Ia menerangkan, praktik spa di Bali bisa masuk ke ranah kesehatan dan kebugaran.

“Spa di Bali itu berbasis budaya karena nuansa budayanya kental sekali karena kita menjaga kebugaran itu melalui sarana air dan melalui budaya yang ada di Bali,” ujar Tjok Bagus Pemayun.

Organisasi Pariwisata Dunia memprediksi sektor pariwisata baru akan benar benar pulih pada 2026 atau dua tahun lagi. Apabila Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) untuk hiburan sebesar 40 hingga 75 persen dikenakan pada tahun ini, tentunya dikawatirkan minat wisatawan akan merosot.

By Admin