Kisah Dokter Lo yang gratiskan biaya berobat warga miskin Solo selama puluhan tahun
Ratusan pelayat melepas kepergian dokter bernama lengkap Thomas Becket Lo Siauw Ging di Rumah Duka Tiong Thing, Surakarta, Jawa Tengah, Kamis (11/01).
Figur yang dikenal luas sebagai Dokter Lo ini wafat pada awal pekan kedua 2024. Dia meninggalkan kisah hidup yang tidak hanya melegenda di Solo, tapi juga di komunitas kedokteran Indonesia.
Puluhan tahun memberi layanan kesehatan gratis bagi masyarakat miskin, Dokter Lo, sebagaimana dinyatakan Ikatan Dokter Indonesia, “mendedikasikan hidupnya untuk pengabdian sosial tanpa batas”.
Dokter Lo memulai karier panjangnya sebagai dokter pada tahun 1962, setelah lulus dari Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Kelulusannya terjadi pada era ketika pemerintahan Soekarno berupaya mengatasi ketimpangan akses kesehatan antara warga kota dan desa serta kelompok kaya dan miskin akibat kebijakan kolonial.
Begitu lulus sekolah, Dokter Lo bekerja sebagai pegawai negeri. Dia ditugaskan di Gunungkidul, Yogyakarta; dan tiga wilayah lain di Jawa Tengah, yaitu Boyolali, Wonogiri, dan Surakarta.
Keberadaannya sebagai dokter muda di wilayah itu tidak terlepas dari strategi pemerintahan Soekarno untuk meratakan akses kesehatan. Misi pemerataan itu terhalang karena jumlah dokter yang berkurang drastis akibat kepulangan para dokter keturunan Eropa pascakemerdekaan.
Saki Murakami, dalam riset panjangnya berjudul Call for Doctors! Uneven Medical Provision and the Modernization of State Health Care during the Decolonization of Indonesia, 1930s–1950s, mencatat berbagai hal terkait isu kesehatan pada era pemerintahan Soekarno.
Murakami mencatat, untuk mengatasi kekurangan dokter dan minimnya layanan kesehatan di pedesaan, pemerintahan Soekarno menerbitkan tiga peraturan.
Pertama, mahasiswa yang baru lulus pendidikan kedokteran wajib bekerja untuk pemerintah selama tiga tahun sebelum mendapat izin praktik.
Regulasi kedua melarang dokter membuka layanan kesehatan di wilayah yang berlabel ”tertutup untuk praktik dokter”. Ketiga, pemerintah diberikan hak untuk mengatur praktik dokter swasta secara temporer pada keadaan genting seperti bencana alam dan epidemi.
Di Gunungkidul, Dokter Lo terkena penyakit kuning (leptospirosis) akibat bakteri leptospira yang disebarkan oleh binatang seperti tikus, sapi, dan anjing.
Dia lantas dilarikan ke Rumah Sakit Tentara Magelang dan hampir kehilangan nyawa. Kesembuhan dari penyakit itulah, sebagaimana dikatakan istrinya, Gan May Kwee, yang mendorongnya untuk memberi pelayanan medis gratis.
“Dulu dia pernah hampir meninggal. Setelah sembuh, dia merasa diberi kesempatan kedua oleh Tuhan. Dari situlah dia memberikan kehidupannya untuk membantu orang lain,” ujar Gan May saat ditemui di rumah duka, Kamis (11/01) lalu.
Merujuk Survei Nasional 1980, biaya yang harus dikeluarkan seseorang untuk satu kunjungan ke fasilitas kesehatan mencapai Rp418. Nominal itu tidak termasuk ongkos transportasi dan pengeluaran makan. Sebagai gambaran, pengeluaran bulanan di Jawa Tengah mencapai Rp24.795.
Pada periode 1978-1987, Orde Baru pernah memberikan subsidi kepada sejumlah fasilitas kesehatan. Namun, skema subsidi itu tidak menyentuh masyarakat kelas bawah.
Ongkos berobat menjadi penghalang utama bagi masyarakat kelas bawah, terutama mereka yang tinggal jauh dari fasilitas kesehatan.
Merujuk riset tahun 1995 yang dikutip sejarawan Edward Aspinall dalam artikel jurnal berjudul Health care and democratization in Indonesia, hanya 10% warga miskin yang bisa mengakses layanan kesehatan.
Dari 10 orang yang berobat ke rumah sakit pada era itu, hanya satu di antaranya yang merupakan warga miskin.
Dalam berbagai konteks sosial itulah Dokter Lo melakukan “pengabdian sosial melalui layanan kesehatan gratis”.
Untuk mengenang rekam jejak Dokter Lo, Fajar mewawancarai beberapa warga dari kelas ekonomi bawah yang pernah mendapat jasa medis gratis darinya.