• Ming. Apr 28th, 2024

Anies Beri Nilai Buruk untuk Kinerja Kementerian Pertahanan

Calon presiden RI nomor urut 1 Anies Baswedan memberikan skor buruk untuk kinerja Kementerian Pertahanan (Kemenhan). Skor ini jauh di bawah skor yang diberikan Ganjar Pranowo untuk kinerja Kemenhan, yakni 5.

“Dan menurut saya, skornya di bawah 5,” tegas Ganjar.

Kemudian Anies mempertegas lagi, bahwa skor yang diberikannya untuk kinerja Kemenhan hanya 11 dari skala 100. Skor ini disampaikan Anies setelah ditanya Ganjar Pranowo, calon presiden nomor urut 3 yang memberikan skor 5 untuk kinerja Kemenhan.

“TNI, tentara kita semua bekerja luar biasa di lapangan, tapi di sisi kebijakan lebih parah,” katanya dalam debat ketiga capres di Jakarta, Minggu, 7 Januari 2024.

Menurutnya, di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, TNI mendapat kenaikan gaji hingga 9 kali. Namun, di era Presiden Joko Widodo hanya 3 kali.

Ia juga membahas tunjangan kinerja (tukin) hanya 80 persen. Ia membandingkan dengan kementerian lainnya yang mengusahakan peningkatan tukin.

“Lalu alutsista bekas, risikonya keselamatan TNI kita. Mereka kerja keras jaga tanah republik ini. Tapi mereka tidak didukung policy (kebijakan),” ujar Anies.

Anies sejak awal debat menyerang lawannya Prabowo Subianto atas keputusannya membeli alutsista berupa pesawat bekas ketika menjabat menteri pertahanan Indonesia.

“Rp700 triliun anggaran Kemenhan tidak bisa digunakan itu (pertahanan dan keamanan), malah digunakan untuk membeli alat alutsista yang bekas,” ujar Anies.

Ia juga menyoroti kondisi kesejahteraan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Anies menyebut lebih dari separuh tentara Indonesia tidak memiliki rumah dinas. Sementara itu, Menteri Pertahanan memiliki lebih dari 340 ribu hektare tanah di Indonesia.

“Ini ironi dan harus diubah,” pungkas Anies.

Prabowo Ngegas Respons Pertanyaan Anies soal Etika Pemimpin

Jakarta: Calon presiden nomor urut dua Prabowo Subianto terlihat begitu emosi saat mendapat pertanyaan mengenai etika kepemimpinan dari Anies Baswedan, calon presiden nomor urut satu. Prabowo cenderung menghindari esensi dari pertanyaan dan lebih condong berbicara mengenai pribadi Anies.

Etika kepemimpinan yang ditanyakan Anies kepada Prabowo dikaitkan dengan dugaan adanya sejumlah ‘orang dalam’ dalam proyek pengadaan alutsista di Kementerian Pertahanan.

Anies mengisyaratkan bahwa Prabowo sebagai Menteri Pertahanan cenderung tutup mata atas semua praktik yang melanggar etika tersebut.

Selain soal praktik ‘orang dalam,’ Anies juga mengkritik Prabowo yang dinilai berkompromi dengan pelanggaran etika di Mahkamah Konstitusi mengenai pencalonan Gibran Rakabuming Raka.

Anies menekankan bahwa pelanggaran tersebut jelas terjadi dan diketahui semua orang di Indonesia. “Ketika ada pelanggaran etika, bapak tetap jalan terus dengan cawapres yang melanggar etika. Artinya ada kompromi dalam standar etika,” kata Anies.

Seperti sebelum-sebelumnya, Prabowo kembali menegaskan kepada Anies bahwa jangan membahayakan pertahanan negara hanya karena ambisi pribadi. Ia meminta agar Anies tidak menghasut dan menyesatkan rakyat.

“Itu etika tertinggi. Jangan membahayakan pertahanan dan keamanan rakyat, kasihan prajurit dan polisi-polisi kita,” sebut Prabowo.

Bedah Editorial MI: Petaka Meremehkan Etika

Pelanggaran etika yang terjadi di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Oktober lalu mestinya menjadi pelajaran mahal bagi bangsa ini. Pelanggaran yang terbukti dilakukan oleh Ketua MK pada saat itu, Anwar Usman, bukan semata mencoreng integritas lembaga, melainkan juga mewariskan kegamangan konstitusi.

Namun ironisnya, pelajaran itu tidak dianggap genting oleh sejumlah kalangan. Dalam Rakernas Partai Gerindra yang berlangsung Jumat, 15 Desember 2023, Prabowo menyinggung soal pertanyaan terkait pelanggaraan etik MK, yang diajukan calon presiden nomor urut 1 Anies Baswedan, dalam Debat Capres pada 12 Desember lalu. Dalam Rakesnas, Prabowo mengumpat pertanyaan itu dalam bahasa Jawa.

Meski berdalih candaan di tengah ‘keluarga besar’ Gerindra, sikap Prabowo sangat mengkhawatirkan. Ini bukan sekadar tentang kesantunan bahasa ataupun sikap melecehkan calon presiden lain. Paling krusial ialah tentang prinsip soal penegakan etika oleh lembaga dan pejabat negara.

Alasan Prabowo bahwa hukum adalah yang terpenting, ialah tanda bahwa ia tidak menganggap setara antara hukum dan etika. Padahal, kebijaksanaan seorang pemimpin justru hanya bisa lahir jika menjunjung sama tinggi antara hukum dan etika. Meremehkan salah satunya akan melahirkan pemimpin permisif, koruptif, atau bahkan lebih buruk lagi menjadi diktator.

Maka tidak heran jika banyak yang mengingatkan agar para calon pemimpin tidak meremehkan soal etik. Mereka menekankan kedua hal itu, yakni hukum dan etika, sama penting agar menjadi pemimpin yang objektif.

Sesungguhnya, posisi hukum dan etika yang sama penting bukanlah pemahaman sulit. Manusia memang telah mengenal etika sejak kecil, baik dari nilai-nilai agama maupun nilai budaya.

Para guru besar, baik ilmu hukum maupun filsafat, menyatakan bahwa etika ialah sistem yang pertama-tama menghasilkan keteraturan, sebelum adanya hukum. Sejarah pun menulis bahwa etika yang kemudian dikaji secara ilmiah dan dirumuskan itulah yang menjadi cikal bakal lahirnya hukum, kode etik, dan berbagai bentuk aturan lainnya.

Bahkan begitu pentingnya konsep etika, pada tahun 1996, Sidang Umum PBB merekomendasikan agar semua negara anggota membangun kode etik dan lembaga penegak kode etik di setiap lembaga publik mereka. Tidak heran pula jika di negara-negara maju, komisi-komisi etik menjadi bagian tidak terpisahkan dari lembaga-lembaga publik dan profesi. Sebab, kode etiklah yang pertama-tama menjadi rambu ketika ketentuan hukum yang spesifik belum ada.

Pelanggaran etik yang memang sudah jelas terbukti dan diputus oleh Mahkamah Kehormatan MK, harus dipandang serius. Perbaikan MK dan, lebih jauh lagi, perbaikan terhadap penegakan konstitusi hanya bisa terjadi jika semua pihak menjunjung tinggi hukum dan etika.

Masyarakat pun mestinya menuntut keseriusan para calon pemimpin di Republik ini dalam menjunjung tinggi hukum dan etika. Kita memang tidak naif jika ada pihak yang paling diuntungkan atas putusan yang melanggar etik. Namun, tidak sepantasnya menjadikan produk pelanggaran etik itu sebagai hal biasa, tidak apa-apa, bahkan menjadikannya di bawah ketiak hukum dan tujuan politik kekuasaan.

By Admin