Beritababe Yerusalem, 19 Juni 2025 Israel tengah menghadapi krisis politik terbesarnya dalam dua dekade terakhir, setelah pemerintah koalisi sayap kanan yang dipimpin oleh Perdana Menteri Benjamin Netanyahu mengesahkan paket reformasi hukum yang kontroversial. Kebijakan tersebut memicu gelombang protes besar-besaran di seluruh negeri, menandai meningkatnya ketegangan antara pemerintah dan rakyatnya, serta mengundang kecaman dari dunia internasional.
Reformasi yang Mengubah Wajah Demokrasi Israel
Paket reformasi hukum yang disahkan oleh Knesset (parlemen Israel) mencakup beberapa perubahan besar yang secara substansial mengurangi kekuasaan Mahkamah Agung Israel. Di antaranya adalah:
- Parlemen dapat membatalkan putusan Mahkamah Agung dengan suara mayoritas sederhana.
- Menteri dapat menunjuk penasihat hukum sendiri tanpa persetujuan jaksa agung.
- Proses pemilihan hakim dipolitisasi melalui komite yang dikontrol oleh mayoritas parlemen.
Menurut pemerintah, reformasi ini bertujuan untuk “mengembalikan keseimbangan antara cabang kekuasaan negara” dan “menghentikan dominasi birokrasi yudisial atas keputusan rakyat.” Namun, para kritikus melihatnya sebagai ancaman langsung terhadap demokrasi dan prinsip negara hukum.
Demonstrasi Massal dan Kerusuhan di Israel
Reformasi ini memicu reaksi keras dari masyarakat. Demonstrasi besar meledak di berbagai kota utama sejak awal Juni, dengan puncaknya terjadi pada 15 Juni ketika lebih dari 250.000 orang turun ke jalan di Tel Aviv. Para demonstran membawa bendera Israel dan poster bertuliskan “Save Our Democracy”, “No to Dictatorship”, dan “Justice Before Politics”.
Demonstrasi meluas ke Yerusalem, Haifa, Be’er Sheva, dan bahkan ke kota-kota kecil seperti Eilat dan Netanya. Di beberapa titik, terjadi bentrokan antara demonstran dan polisi, dengan puluhan orang terluka dan ratusan lainnya ditangkap.
Kelompok oposisi, termasuk mantan perwira tinggi militer, akademisi, aktivis HAM, dan perwakilan dari komunitas ultra-Ortodoks, bersatu dalam menolak reformasi ini. Bahkan beberapa unit cadangan militer mengumumkan mogok bertugas sebagai bentuk protes, sebuah langkah yang sangat langka dalam sejarah Israel.
Reaksi Politik Internal
Yair Lapid, pemimpin oposisi dan mantan Perdana Menteri, menyebut langkah Netanyahu sebagai “ancaman nyata terhadap demokrasi liberal.” Ia menambahkan bahwa reformasi ini dapat menyeret Israel keluar dari jajaran negara demokratis dan membuatnya mirip dengan negara otoriter.
Sementara itu, Presiden Israel Isaac Herzog mencoba menjadi penengah, menyerukan dialog nasional dan menunda implementasi reformasi. Namun, upaya ini tampaknya diabaikan oleh pemerintahan Netanyahu yang tetap pada pendiriannya.
Dampak Sosial dan Ekonomi Israel
Krisis politik ini bukan hanya berdampak pada stabilitas pemerintahan, tetapi juga ekonomi. Nilai tukar shekel melemah signifikan terhadap dolar AS. Indeks saham Tel Aviv-35 turun 8% dalam dua minggu terakhir. Investor mulai menarik modal dari sektor teknologi, dan startup-startup besar mulai mempertimbangkan relokasi kantor pusat mereka ke luar negeri.
Sementara itu, sektor pendidikan dan kesehatan terkena imbas karena banyak pegawai publik ikut berdemo atau melakukan mogok kerja. Gelombang migrasi kecil juga mulai muncul, dengan warga negara Israel mengajukan permohonan paspor kedua ke negara Eropa atau Amerika Utara.
Kecaman Internasional Meningkat Untuk Israel
Pemerintah Amerika Serikat, Jerman, Kanada, dan Prancis telah menyatakan keprihatinannya secara resmi. Menteri Luar Negeri AS, Antony Blinken, menyampaikan bahwa “hubungan strategis AS-Israel dibangun atas nilai-nilai demokrasi bersama, dan reformasi yang melemahkan sistem hukum merupakan ancaman terhadap prinsip itu.”
Bahkan diaspora Yahudi di luar negeri, termasuk komunitas besar di New York dan London, menggelar aksi solidaritas dan menandatangani petisi menolak kebijakan Netanyahu. Ini menambah tekanan diplomatik dan moral terhadap pemerintah Israel.
Masa Depan Israel
Dengan gelombang protes yang belum mereda dan tekanan internasional yang semakin kuat, masa depan politik Israel kini berada di titik genting. Apakah Netanyahu akan melunak dan membuka dialog, atau justru memperkeras pendiriannya, masih menjadi pertanyaan besar.
Satu hal yang pasti, demokrasi Israel sedang diuji. Dalam sejarah negara tersebut yang dibangun atas dasar pluralisme dan hukum, keputusan saat ini akan menjadi penentu arah bangsa untuk satu generasi ke depan.